Part 60: Takdir!
««««»»»»
“GILA! Tuh anak mau bikin kita stress lagi? Apa sih maunya Debo? Nggak puas dia bikin Alvin meninggal?”
“IFY!”
Ify mendengus kemudian terdiam. Memang lebih baik diam daripada harus menghadapi semua amarah teman-temannya. Entah mengapa perasaan benci itu hinggap di hati Ify. Ify benci Debo hanya karena Alvin meninggal. Seketika rasa itu yang dirasakan oleh Ify. Kebencian!
“Terus sekarang gimana?” Panik Sivia.
“Kita ke lantai atas!” ajak Rio.
“GILA! BIARIN AJA PEMBUNUH ITU! ALVIN LEBIH PENTING DARIPADA DIA!” bentak Cakka dengan suara yang bergetar hebat. Seluruh emosinya keluar seketika. Kehilangan Alvin adalah mimpi buruk yang ada di hidup Cakka.
“Tapi Kka...”
“DIEM LO SEMUA!! BIARIN AJA TUH ANAK MAMPUS! KITA HARUS MAKAMIN ALVIN SEKARANG JUGA!” suara Cakka makin meninggi. Amarahnya meledak seketika.
“Kka, lo jangan mikirin perasaan lo doang! Kita disini juga sedih kehilangan Alvin. Tapi, lo juga mikirin dong gimana perasaan Debo. Dia terpukul! Dia nggak nyangka akibatnya bakal fatal kayak gini. Tolong! Jangan kayak gini.” pinta Shilla.
Cakka melirik Shilla tajam. “Elo belain pembunuh itu? Dibayar berapa sih lo sama dia? Ck! Lo pacar gue, Shill. Nggak usah belain dia.”
“JANGAN PERNAH SEBUT DEBO SEBAGAI PEMBUNUH ALVIN!” Agni yang tadinya diam mulai angkat bicara. Ia tidak terima! Ya, sangat tidak terima dengan kata-kata yang dilontarkan Cakka mengenai Debo. Debo bukan pembunuh! Ia hanya emosi hanya karena sifat Alvin yang selalu seenaknya menyakiti perasaan cewek.
“Kenapa lo belain dia?” Tanya Rio.
“Nggak usah nge-judge Debo kayak gini! Alvin yang salah dengan semua ini. Dia yang udah nyakitin Sivia. Jadi, dia juga yang nerima karma yang diberikan Tuhan untuk Alvin.”
Cakka berdiri dihadapan Agni. Ia mencengkram bahu Agni dengan sangat kuat lalu menatap wajah Agni penuh amarah yang meluap-luap. “Apa lo bilang? Alvin yang salah atas semua ini? Mantan lo itu yang salah! Dia yang udah buat Alvin ninggalin kita semua. Dia yang sepantasnya mati. Bukan Alvin!”
“Lo jahat tau! Alvin sendiri udah bisa ngemaafin Debo. Tapi, kenapa lo nggak bisa, Kka? Segitu jeleknya Debo dimata lo? Iya?” Tanya Agni.
“DIEM!” bentak Cakka.
“Udah dong! Debo dalam bahaya malah berantem! Kalo lo semua emang nggak care sama Debo, gue yang akan ke lantai atas! Permisi!” pamit Sivia.
Sivia beranjak dari ruang UGD. Ia dengan segera menuju lantai atas untuk menyelamatkan nyawa Debo.
“Udah puas ribut-ributnya? Kapan sih ada perdamaian diantara kita kalo kerjaan kalian cuma ribut kayak gini?” Aren menatap satu-persatu teman-temannya.
Semuanya menunduk. Cakka menurunkan tangannya dari bahu Agni. Ia tertunduk lesu. Seharusnya pertengkaran ini tidak pernah terjadi. Kematian Alvin karena takdir. Memang Tuhan memberikan Alvin hidup hanya 16 tahun. Bukan karena kesalahan Debo yang telah mencelakakan Alvin.
“Maafin gue. Gue emosi berlebihan. Gue cuma masih nggak percaya aja Alvin ninggalin semua. Semua kenangan yang udah terjadi diantara kita.”
Agni tersenyum tipis. Ia menepuk pundak Cakka pelan. “Jangan sedih. Keep smile. Kita semua disini juga sedih kehilangan Alvin. Tapi, jangan nyalahin Debo atas kematian Alvin. Ini semua takdir Tuhan. Kita harus bisa menerima semua kenyataan ini.”
“Nah gini dong daritadi.” Ucap Patton tersenyum. “Sekarang kita ke lantai atas, yuk!”
“Yuk!”
««««»»»»
“Selamat tinggal Mamah, Patton, Ify dan semua teman-teman. Mungkin aku udah nggak diperluin lagi sama mereka. Aku ini seorang pembunuh! Lebih baik aku mati aja.”
Debo melangkahkan kakinya perlahan. Ia merentangkan tangannya. Angin berhembus sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya kesana kemari(?). Matanya terpejam.
“DEBO JANGAN!”
Debo menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh ke belakang. Debo tersentak. Sivia menghampiri dan langsung memeluknya erat. Isak tangis Sivia terdengar jelas oleh Debo. Debo membalas pelukan Sivia. Ia membelai lembut rambut Sivia.
“Kenapa kamu ngelarang aku, Vi? Aku ini udah ngebunuh orang yang kamu sayang.”
Sivia menggelengkan kepalanya. “Ini takdir Tuhan! Ini bukan kesalahanmu. Aku cuma nggak mau ntar Ify ngelahirin anak tanpa Bapaknya.”
Debo kaget. Ia melepaskan pelukan Sivia. “Maksud kamu apa?”
“Ify sedang mengandung anak kamu, Deb. Kamu bener-bener lupa sama semuanya?”
Debo mengangguk. “Sama sekali nggak inget semuanya. Dan aku nggak pernah ngerasa ngehamilin Ify. Emangnya kapan aku ngelakuinnya?” tanya Debo.
“DEBO!”
Debo menoleh. Anak-anak FMIF dan SNG lainnya nampak bernafas lega karena Debo mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Ify berlari menghampiri Debo.
PLAAKK!
Tamparan itu mendarat di pipi kanan Debo. Ify menatap Debo. Kemudian ia memeluk erat Debo.
Debo cengo dan tak percaya. Ia terdiam sesaat lalu akhirnya membalas pelukan Ify tak kalah eratnya.
“Tampar aja aku, Fy. Semoga aja nanti sifat kamu yang suka nampar aku nggak nurun ke anak kita.”
Ify mendongakkan kepalanya. “Kamu udah inget, De?”
“Apa sih yang nggak buat princess Alyssa.” goda Debo sambil tersenyum.
Sivia tersenyum tipis. Walau ada sedikit rasa sakit dan cemburu dalam hatinya, Sivia bahagia melihat Debo dan Ify bahagia.
“Aku sayang kamu, Deb. Jangan jauh-jauh lagi dari aku.” Pinta Ify.
Debo mengacak-acak rambut Ify lalu tersenyum. “Anything for you, beibhy.”
“DE, LO UDAH SEMBUH?” tanya Patton sambil berteriak.
Debo mengacungkan jempolnya. Ia tersenyum pada sepupunya itu. Syukurlah, Sivia dengan cepat mengembalikan ingatan Debo seperti semula.
“Langgeng ya kalian berdua. Semoga sampai tua dan sampai punya cucu.” ucap Sivia sambil tersenyum jahil.
Ify dan Debo menoleh. Debo melepaskan pelukan Ify kemudian ia tersenyum pada Sivia. “Doain Ify nggak pergi nyusul Alvin.”
“Hah?” Sivia tersentak. Ia menatap Ify. “Maksudnya Debo apaan, Fy?”
'Mampus! Keceplosan kan gue. Ahh.. Sial sial!' batin Debo. Ia menggerutu kesal mengapa tiba-tiba otaknya keceplosan mengucapkan itu.
“Emang aku kenapa?” tanya Ify pada Debo.
Debo tersenyum. “Nggak apa-apa, sayang.”
Debo pun mengajak Sivia dan Ify menghampiri teman-temannya. Pemakaman Alvin akan segera dilaksanakan.
««««»»»»
Suasana tangis menyelimuti pemakaman Alvin. Sivia memeluk nisan yang bertuliskan 'Alvin Jonathan'. Ia masih tidak percaya bahwa Alvin pergi secepat ini. Sivia sendiri bingung mencari sosok Ayah untuk anaknya yang akan lahir nanti bersamaan dengan Ify. Tuhan begitu cepatnya memanggil Alvin.
“Sivia... Relain kepergian Alvin. Semua ini takdir Tuhan. Jangan nangis lagi. Alvin nanti nggak tenang kalo kamu nangis.” Rio tersenyum lalu menghapus air mata Sivia.
Sivia tertegun. Ia menatap Rio yang berada dihadapannya. “Ma..makasih, Yo.”
Agni menggerutu kesal melihat pemandangan yang terjadi di pemakaman Alvin. Sungguh pemandangan yang sangat menyakitkan. Yang sama sekali tidak enak dilihat oleh mata.
Deva merangkul Agni. “Tabahkan hatimu. Jangan luapin emosimu disaat suasana seperti ini. Ngertiin perasaan Sivia. Relain dulu Rio dipinjem sementara.”
Agni mengangguk lalu menjauhkan tangan Deva dari pundaknya. “Setidaknya gue bukan cewek yang kayak gitu. Santai aja.”
Sivia melirik Agni. Ia menatap seluruh teman-temannya. “Kalian masih mau disini? Aku nggak kuat lama-lama disini. Aku boleh pulang duluan nggak?”
Semuanya mengangguk. “Kalo kamu mau duluan, duluan aja. Kita masih ingin disini.” Jawab Acha.
Rio menatap Sivia. “Aku anter ya?”
Sivia menggeleng. “Aku bisa sendiri. Kamu anter Agni aja. Aku nggak enak hati sama Agni. Aku duluan ya.”
Sivia pun berlalu meninggalkan teman-temannya. Sungguh! Berlama-lama dimakam Alvin membuat Sivia semakin terpuruk.
Debo mengelus nisan Alvin. Ia berlutut disampingnya. “Maafin gue ya, Vin. Thank's selama ini udah sayang dan peduli sama gue. Maaf kalo gue buat lo kayak gini.”
Cakka mengelus punggung Debo. “Udah, De. Alvin udah tenang disana.”
“Kita pulang yuk? Atau makan-makan dulu, gimana?” Ajak Shilla.
“Ayok.”
««««»»»»
“Tuhan, aku sayang Alvin. Aku cinta Alvin. Aku ingin Alvin kembali disisiku.” Air mata Sivia kembali menetes. Ia hanya menunduk sepanjang jalan menuju rumahnya. Sivia hanya tidak mau menjadi tontonan orang-orang.
BRUUKK!
“Auuww” rintih Sivia sambil memegangi kepalanya. Ia mendongakkan kepalanya kemudian menatap sosok yang menabraknya tersebut.
“ALVIN!”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar